Friday, February 24, 2012

Mengenal “Si Miskin”


Yang miskin tetap miskin, yang kaya semakin kaya, ungkapan demikian sering terdengar di telinga rakyat yang semakin gerah dengan carut marut negeri ini, terutama saat berbicara tentang kemiskinan. Baiklah, kali ini saya tidak akan membahas tentang bagaimana ‘beliau-beliau’ (baca : pengambil kebijakan) berpikir keras dan berusaha mencarikan solusi terbaik untuk mengeluarkan sebagian rakyat Indonesia yang masih terjerembab di jurang kemiskinan. Pada tulisan ini saya lebih tertarik untuk sedikit mengenal kemiskinan, terkait definisi kemiskinan dan sekilas mengenal metode penghitungan kemiskinan.

Definisi Kemiskinan
Kemiskinan memaksa seseorang atau sekelompok orang untuk tidak dapat memenuhi hak-hak dasarnya sebagai manusia, seperti kebutuhan akan makanan yang layak dan begizi, memakai pakaian yang layak, kesehatan yang terjaga, mendapatkan pendidikan yang diinginkan, memperoleh pekerjaan yang memadai, tinggal dalam rumah yang layak huni, mendapatkan air bersih, hingga memanfaatkan sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Kesempatan untuk memperoleh hal-hal tersebut menjadi sirna ketika seseorang atau sekelompok orang terjerumus dalam jurang kemiskinan. Hal ini sesuai dengan konsep yang dilansir oleh Bappenas, bahwa kemiskinan adalah kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang tidak mampu memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat (Bappenas, 2004).

Jenis-Jenis Kemiskinan
Pada dasarnya kemiskinan dibagi menjadi beberapa jenis, di antaranya adalah kemiskinan relatif, kemiskinan absolut, kemiskinan structural, dan kemiskinan kultural. Selanjutnya, mari kita ‘kupas’ satu per satu mulai dari kemiskinan relatif. Kemiskinan relatif merupakan kondisi miskin yang disebabkan oleh pengaruh kebijakan pembangunan yang belum mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat, sehingga menyebabkan terjadinya ketimpangan distribusi pendapatan, yang selanjutnya dapat dipastikan ada sekelompok orang di sekitar kita yang tergolong miskin. Hal ini terjadi karena konsep kemiskinan relatif sangat bergantung pada distribusi pendapatan masyarakat. Sebagai ilustrasi, sebuah negara akan menyusun standar minimum  kondisi hidup di negara tersebut pada waktu tertentu. Tentu saja, standar itu difokuskan  pada golongan penduduk “termiskin”, misalnya sekitar 40 persen dari  total penduduk yang telah diurutkan menurut pendapatan/pengeluarannya. Kelompok 40 persen ini merupakan kelompok yang relatif miskin, yang sudah tentu selalu ada setiap waktu, berbeda individu/rumahtangga/kelompok masyarakat miskinnya.
Berbeda dengan kemiskinan relatif, kemiskinan absolute yang akan dibahas selanjutnya ini tidak bergantung pada distribusi pendapatan, melainkan secara ketat bergantung apda konsep dasar kemiskinan itu sendiri, yaitu ketidakmampuan untuk mencukupi kebutuhan pokok minimum seperti pangan, sandang, kesehatan, perumahan dan pendidikan yang diperlukan untuk bisa hidup dan bekerja. Garis atau batas yang digunakan untuk menentukan seseorang/sekelompok orang masuk ke dalam kemiskinan absolute selalu tetap/tidak berubah-ubah seperti yang digunakan untuk menentukan batas kemiskinan relatif. Tujuan dari ditentukannya garis kemiskinan absolute adalah agar kemiskinan dapat dibandingkan secara umum antar waktu dan antar wilayah. Garis kemiskinan absolute mutlak diperlukan ketika seseorang ingin mencoba menilai efek dari suatu kebijakan penanggulangan kemiskinan. Dengan menggunakan garis kemiskinan absolute, angka kemiskinan akan terbanding antara suatu waktu dan waktu yang lain. di dunia internasional, Bank Dunia memiliki garis kemiskinan absolute yang digunakan untuk membandingkan angka kemiskinan antar negara. Garis kemiskinan absolute yang digunakan oleh Bank Dunia ada 2 (dua), yaitu US$ 1 per hari, yang mana jika menggunakan nilai ini maka diperkirakan ada sekitar 1,2 milyar penduduk dunia yang hidup di bawah ukuran tersebut. Yang kedua adalah US$ 2 per hari, yang mana jika menggunakan nilai ini maka diperkirakan ada lebih dari 2 milyar penduduk dunia yang tergolong miskin. Di Indonesia, penghitungan angka kemiskinan dilakukan rutin oleh Badan Pusat Statistik (BPS) setiap tahun. Untuk kepentingan pengukuran kemiskinan, BPS menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Dengan konsep ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari segi ekonomi seseorang/sekelompok orang untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur melalui pendekatan pengeluaran. Garis Kemiskinan (GK) yang dibentuk oleh BPS setiap tahunnya merupakan penjumlahan dari garis kemiskinan makanan dan garis kemiskinan non makanan (akan dijelaskan pada tulisan berikutnya). Penduduk dikatakan miskin apabila memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan (GK). Garis kemiskinan setiap tahunnya berbeda-beda, bergantung pada garis kemiskinan tahun sebelumnya dan Indeks Harga Konsumen (IHK) tahun tersebut.

Persoalan pelik muncul ketika angka dan distribusi penduduk miskin digunakan sebagai ‘petunjuk’ keberadaan si miskin guna pemberian bantuan atau semacamnya. Ketika hal ini terjadi, tidak heran ketika segelintir penduduk justru ‘bangga’ dan ingin menjadi ‘si miskin’ untuk saat itu. Jika pola pikir masyarakat seperti ini dibiarkan, maka wajarlah jika anggaran triliyunan Rupiah menjadi tidak tepat sasaran. Semoga Indonesia dapat lebih baik lagi.

2 komentar:

  1. memang berbicara kemiskinan itu luas,,,sipppp sa,,,,tulisan yang bagus,,,,lanjutkan !!!

    ReplyDelete
    Replies
    1. betul Pak Radit. bicara kemiskinan, seperti "lingkaran setan" . .Siip. makasih masbro

      Delete