Wednesday, February 29, 2012

Jangan Rebut Masa Kecil Mereka



Anak adalah karunia dan amanah yang dititipkan Tuhan Yang Maha Esa kepada setiap orangtua di dunia ini. Oleh karenanya, kebahagiaan dan kelangsungan hidup yang layak dari setiap anak mutlak menjadi tanggungjawab orangtuanya. Dalam diri setiap anak juga melekat harkat dan martabat, dan hak-hak dasar sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi demi keberlangsungan hidupnya sebagai generasi penerus bangsa. Namun, konsep yang sedemikian mulia itu kini tinggal teori saja. Di hampir seluruh penjuru dunia, beberapa anak terpaksa memikul bongkahan batu atau kerja berat lainnya saat sebagian diantara mereka menikmati indah dan bahagianya masa kecil. Kondisi demikian merupakan cambuk bagi masyarakat dunia, tak terkecuali negara kita tercinta, Indonesia. Negara yang sudah merdeka lebih dari 66 tahun ini, ternyata belum dapat sepenuhnya ‘memerdekakan’ hak-hak anak yang tidak lain adalah generasi muda di negeri ini. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 secara tegas mengatakan bahwa pertanggungjawaban orang tua, keluarga, dan masyarakat, pemerintah dan negara merupakan rangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara terus menerus demi terlindunginya hak-hak anak.

Bagaiman Kondisi Mereka Sekarang ?
Perlindungan terhadap anak pada hakikatnya adalah tanggung jawab Negara,masyarakat, dan khususnya keluarga. Setiap anak harus terjamin dari berbagai kondisi yang dapat membahayakan proses perkembangandan pertumbuhannya. Namun, yang terjadi kini adalah maraknya kasus penindasan anak secara politis, ekonomi, dan budaya. Sebagai contoh saat rangkaian perhelatan pemilihan ‘wakil rakyat’ digelar, tidak jarang kita melihat anak yang masih ‘bau kencur’ mengenakan atribut-atribut politis, mungkin saja sengaja diikutsertakan oleh orang tua mereka untuk turut serta memeriahkan acara kampanye salah satu calon ‘wakil rakyat’. Eksploitasi anak dari sisi ekonomi juga perlu mendapat perhatian. Berdasarkan data hasi Survei Pekerja Anak (SPA) yang diselenggarakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2009 mencatat ada 4,1juta anak usia 5 -17 tahun yang bekerja (working children). Ironisnya, dari jumlah tersebut, sebesar 43,3 persennya atau 1,7 juta orang termasuk pekerja anak. Pada dasarnya, pekerja anak merupakan bagian dari anak yang bekerja, namun dengan beberapa kondisi khusus. Seorang anak dikatakan pekerja anak jika ‘berhasil’ memenuhi salah satu atau lebih beberapa kondisi yang tidak diharapkan terjai pada anak yang bekerja.
Pertama, seorang anak yang bekerja (working children) digolongkan sebagai pekerja anak jika anak tersebut berusia kurang dari 13 tahun. Pada tahun 2009, tercatat sebanyak 647 ribu orang dari seluruh anak yang bekerja, ternyata berusia masih kurang dari 13 tahun, atau kira-kira seusia anak yang baru tamat Sekolah Dasar (SD).
Kondisi kedua, seorang anak yang bekerja (working children) digolongkan sebagai pekerja anak jika berusia 13-14 tahun, namun bekerja dengan jam kerja yang lebih dari 3 jam/hari. Salah satu lembaga dunia yang berkaitan dengan ketenagakerjaan, Internatonal Labour Organization (ILO), memperbolehkan anak usia 13-14 tahun untuk bekerja, namun dengan jumlah jam kerja kurang dari 3 jam/hari. Sebanyak 321 ribu dari seluruh anak yang bekerja, ternyata berusia 13-14 tahun dan mereka bekerja lebih dari 3 jam/hari.
Kondisi ketiga, seorang anak yang bekerja (working children) digolongkan sebagai pekerja anak jika anak tersebut berusia 15-17 tahun, namun bekerja dengan jam kerja lebih dari 90 jam/minggu. Kondisi terkahir ini yang paling banyak ditemui di Indonesia, terbukti dari hasil SPA 2009 tercatat sebanyak 760 ribu anak usia 15-17 tahun yang bekerja melebihi 90 jam/minggu.
Sebagai salah satu Negara yang telah meratifikasi konvensi ILO No. 138/1979 tentang batas usia minimum usia wajib belajar dan konvensi ILO No. 182/2000 tentang pelarangan dan penghapusan segala bentuk-bentuk terburuk pekerja anak, Indonesia memiliki tanggung jawab untuk menyelesaikan dengan segera berbagai persoalan yang terkait dengan pekerja anak.

Indonesia Telah Berusaha
Sadar dengan berbagai kondisi buruk yang menimpa anak-anak Indonesia, khususnya terkait pekerja anak, pemerintah sebenarnya telah berupaya maksimal memberikan yang terbaik bagi generasi mudanya. Sebut saja, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang dibentuk oleh Presiden pada tahun 2002 dan Komisi Nasional Perlindungan Anak (KNPA) yang telah dibentuk sejak tahun 1997 oleh Menteri Sosial Republik Indonesia saat itu. Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia – pun tidak ingin ketinggalan untuk mengurangi jumlah pekerja anak setiap tahunnya. Penarikan pekerja anak ini dalam rangka program kerja Pengurangan Pekerja Anak dalam rangka mendukung Program Keluarga Harapan (PKH) yang merupakan program lintas Kementerian dan Lembaga. Pada tahun 2011 lalu, Kemenakertrans berhasil menarik 3.360 pekerja anak, atau 100 persen dari target yang dirancang oleh Kemenakertrans tahun tersebut. Dari jumlah itu, sudah 90,2 persen atau 3.032 anak yang berhasil terfasilitasi untuk mendapatkan pendidikan yang sesuai. Berbeda dengan tahun lalu, tahun 2012 ini tidak tanggung-tanggung, pemerintah melalui Kemenakertrans menargetkan sebanyak 10.750 anak yang harus ditarik dari pekerja anak dan harus terfasilitasi untuk mendapatkan pendidikan yang sesuai. Jumlah ini meningkat lebih dari 300 persen dari target tahun 2011 lalu.
Melihat realita permasalahan pekerja anak dan usaha yang dilakukan pemerintah, mutlak adanya bagi seluruh masyarakat, khususnya keluarga, untuk bertanggung jawab dalam menyelesaikan persoalan ini. Sedikit banyak, semua itu juga bergantung pada pola pikir sebagian masyarakat yang menganggap anak merupakan sumber ekonomi. Yaa, memang benar adanya, namun konsep itu menjadi lebih ‘manusiawi’ ketika orang tua berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidup anaknya (pendidikan, gizi yang cukup, kesehatan yang terjamin, dan lingkungan yang kondusif) untuk berkembang dan menjadi sumber ekonomi keluarga pada saat yang tepat nantinya. 

0 komentar:

Post a Comment