Wednesday, February 29, 2012

Jangan Rebut Masa Kecil Mereka



Anak adalah karunia dan amanah yang dititipkan Tuhan Yang Maha Esa kepada setiap orangtua di dunia ini. Oleh karenanya, kebahagiaan dan kelangsungan hidup yang layak dari setiap anak mutlak menjadi tanggungjawab orangtuanya. Dalam diri setiap anak juga melekat harkat dan martabat, dan hak-hak dasar sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi demi keberlangsungan hidupnya sebagai generasi penerus bangsa. Namun, konsep yang sedemikian mulia itu kini tinggal teori saja. Di hampir seluruh penjuru dunia, beberapa anak terpaksa memikul bongkahan batu atau kerja berat lainnya saat sebagian diantara mereka menikmati indah dan bahagianya masa kecil. Kondisi demikian merupakan cambuk bagi masyarakat dunia, tak terkecuali negara kita tercinta, Indonesia. Negara yang sudah merdeka lebih dari 66 tahun ini, ternyata belum dapat sepenuhnya ‘memerdekakan’ hak-hak anak yang tidak lain adalah generasi muda di negeri ini. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 secara tegas mengatakan bahwa pertanggungjawaban orang tua, keluarga, dan masyarakat, pemerintah dan negara merupakan rangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara terus menerus demi terlindunginya hak-hak anak.

Bagaiman Kondisi Mereka Sekarang ?
Perlindungan terhadap anak pada hakikatnya adalah tanggung jawab Negara,masyarakat, dan khususnya keluarga. Setiap anak harus terjamin dari berbagai kondisi yang dapat membahayakan proses perkembangandan pertumbuhannya. Namun, yang terjadi kini adalah maraknya kasus penindasan anak secara politis, ekonomi, dan budaya. Sebagai contoh saat rangkaian perhelatan pemilihan ‘wakil rakyat’ digelar, tidak jarang kita melihat anak yang masih ‘bau kencur’ mengenakan atribut-atribut politis, mungkin saja sengaja diikutsertakan oleh orang tua mereka untuk turut serta memeriahkan acara kampanye salah satu calon ‘wakil rakyat’. Eksploitasi anak dari sisi ekonomi juga perlu mendapat perhatian. Berdasarkan data hasi Survei Pekerja Anak (SPA) yang diselenggarakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2009 mencatat ada 4,1juta anak usia 5 -17 tahun yang bekerja (working children). Ironisnya, dari jumlah tersebut, sebesar 43,3 persennya atau 1,7 juta orang termasuk pekerja anak. Pada dasarnya, pekerja anak merupakan bagian dari anak yang bekerja, namun dengan beberapa kondisi khusus. Seorang anak dikatakan pekerja anak jika ‘berhasil’ memenuhi salah satu atau lebih beberapa kondisi yang tidak diharapkan terjai pada anak yang bekerja.
Pertama, seorang anak yang bekerja (working children) digolongkan sebagai pekerja anak jika anak tersebut berusia kurang dari 13 tahun. Pada tahun 2009, tercatat sebanyak 647 ribu orang dari seluruh anak yang bekerja, ternyata berusia masih kurang dari 13 tahun, atau kira-kira seusia anak yang baru tamat Sekolah Dasar (SD).
Kondisi kedua, seorang anak yang bekerja (working children) digolongkan sebagai pekerja anak jika berusia 13-14 tahun, namun bekerja dengan jam kerja yang lebih dari 3 jam/hari. Salah satu lembaga dunia yang berkaitan dengan ketenagakerjaan, Internatonal Labour Organization (ILO), memperbolehkan anak usia 13-14 tahun untuk bekerja, namun dengan jumlah jam kerja kurang dari 3 jam/hari. Sebanyak 321 ribu dari seluruh anak yang bekerja, ternyata berusia 13-14 tahun dan mereka bekerja lebih dari 3 jam/hari.
Kondisi ketiga, seorang anak yang bekerja (working children) digolongkan sebagai pekerja anak jika anak tersebut berusia 15-17 tahun, namun bekerja dengan jam kerja lebih dari 90 jam/minggu. Kondisi terkahir ini yang paling banyak ditemui di Indonesia, terbukti dari hasil SPA 2009 tercatat sebanyak 760 ribu anak usia 15-17 tahun yang bekerja melebihi 90 jam/minggu.
Sebagai salah satu Negara yang telah meratifikasi konvensi ILO No. 138/1979 tentang batas usia minimum usia wajib belajar dan konvensi ILO No. 182/2000 tentang pelarangan dan penghapusan segala bentuk-bentuk terburuk pekerja anak, Indonesia memiliki tanggung jawab untuk menyelesaikan dengan segera berbagai persoalan yang terkait dengan pekerja anak.

Indonesia Telah Berusaha
Sadar dengan berbagai kondisi buruk yang menimpa anak-anak Indonesia, khususnya terkait pekerja anak, pemerintah sebenarnya telah berupaya maksimal memberikan yang terbaik bagi generasi mudanya. Sebut saja, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang dibentuk oleh Presiden pada tahun 2002 dan Komisi Nasional Perlindungan Anak (KNPA) yang telah dibentuk sejak tahun 1997 oleh Menteri Sosial Republik Indonesia saat itu. Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia – pun tidak ingin ketinggalan untuk mengurangi jumlah pekerja anak setiap tahunnya. Penarikan pekerja anak ini dalam rangka program kerja Pengurangan Pekerja Anak dalam rangka mendukung Program Keluarga Harapan (PKH) yang merupakan program lintas Kementerian dan Lembaga. Pada tahun 2011 lalu, Kemenakertrans berhasil menarik 3.360 pekerja anak, atau 100 persen dari target yang dirancang oleh Kemenakertrans tahun tersebut. Dari jumlah itu, sudah 90,2 persen atau 3.032 anak yang berhasil terfasilitasi untuk mendapatkan pendidikan yang sesuai. Berbeda dengan tahun lalu, tahun 2012 ini tidak tanggung-tanggung, pemerintah melalui Kemenakertrans menargetkan sebanyak 10.750 anak yang harus ditarik dari pekerja anak dan harus terfasilitasi untuk mendapatkan pendidikan yang sesuai. Jumlah ini meningkat lebih dari 300 persen dari target tahun 2011 lalu.
Melihat realita permasalahan pekerja anak dan usaha yang dilakukan pemerintah, mutlak adanya bagi seluruh masyarakat, khususnya keluarga, untuk bertanggung jawab dalam menyelesaikan persoalan ini. Sedikit banyak, semua itu juga bergantung pada pola pikir sebagian masyarakat yang menganggap anak merupakan sumber ekonomi. Yaa, memang benar adanya, namun konsep itu menjadi lebih ‘manusiawi’ ketika orang tua berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidup anaknya (pendidikan, gizi yang cukup, kesehatan yang terjamin, dan lingkungan yang kondusif) untuk berkembang dan menjadi sumber ekonomi keluarga pada saat yang tepat nantinya. 

Friday, February 24, 2012

Mengenal “Si Miskin”


Yang miskin tetap miskin, yang kaya semakin kaya, ungkapan demikian sering terdengar di telinga rakyat yang semakin gerah dengan carut marut negeri ini, terutama saat berbicara tentang kemiskinan. Baiklah, kali ini saya tidak akan membahas tentang bagaimana ‘beliau-beliau’ (baca : pengambil kebijakan) berpikir keras dan berusaha mencarikan solusi terbaik untuk mengeluarkan sebagian rakyat Indonesia yang masih terjerembab di jurang kemiskinan. Pada tulisan ini saya lebih tertarik untuk sedikit mengenal kemiskinan, terkait definisi kemiskinan dan sekilas mengenal metode penghitungan kemiskinan.

Definisi Kemiskinan
Kemiskinan memaksa seseorang atau sekelompok orang untuk tidak dapat memenuhi hak-hak dasarnya sebagai manusia, seperti kebutuhan akan makanan yang layak dan begizi, memakai pakaian yang layak, kesehatan yang terjaga, mendapatkan pendidikan yang diinginkan, memperoleh pekerjaan yang memadai, tinggal dalam rumah yang layak huni, mendapatkan air bersih, hingga memanfaatkan sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Kesempatan untuk memperoleh hal-hal tersebut menjadi sirna ketika seseorang atau sekelompok orang terjerumus dalam jurang kemiskinan. Hal ini sesuai dengan konsep yang dilansir oleh Bappenas, bahwa kemiskinan adalah kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang tidak mampu memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat (Bappenas, 2004).

Jenis-Jenis Kemiskinan
Pada dasarnya kemiskinan dibagi menjadi beberapa jenis, di antaranya adalah kemiskinan relatif, kemiskinan absolut, kemiskinan structural, dan kemiskinan kultural. Selanjutnya, mari kita ‘kupas’ satu per satu mulai dari kemiskinan relatif. Kemiskinan relatif merupakan kondisi miskin yang disebabkan oleh pengaruh kebijakan pembangunan yang belum mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat, sehingga menyebabkan terjadinya ketimpangan distribusi pendapatan, yang selanjutnya dapat dipastikan ada sekelompok orang di sekitar kita yang tergolong miskin. Hal ini terjadi karena konsep kemiskinan relatif sangat bergantung pada distribusi pendapatan masyarakat. Sebagai ilustrasi, sebuah negara akan menyusun standar minimum  kondisi hidup di negara tersebut pada waktu tertentu. Tentu saja, standar itu difokuskan  pada golongan penduduk “termiskin”, misalnya sekitar 40 persen dari  total penduduk yang telah diurutkan menurut pendapatan/pengeluarannya. Kelompok 40 persen ini merupakan kelompok yang relatif miskin, yang sudah tentu selalu ada setiap waktu, berbeda individu/rumahtangga/kelompok masyarakat miskinnya.
Berbeda dengan kemiskinan relatif, kemiskinan absolute yang akan dibahas selanjutnya ini tidak bergantung pada distribusi pendapatan, melainkan secara ketat bergantung apda konsep dasar kemiskinan itu sendiri, yaitu ketidakmampuan untuk mencukupi kebutuhan pokok minimum seperti pangan, sandang, kesehatan, perumahan dan pendidikan yang diperlukan untuk bisa hidup dan bekerja. Garis atau batas yang digunakan untuk menentukan seseorang/sekelompok orang masuk ke dalam kemiskinan absolute selalu tetap/tidak berubah-ubah seperti yang digunakan untuk menentukan batas kemiskinan relatif. Tujuan dari ditentukannya garis kemiskinan absolute adalah agar kemiskinan dapat dibandingkan secara umum antar waktu dan antar wilayah. Garis kemiskinan absolute mutlak diperlukan ketika seseorang ingin mencoba menilai efek dari suatu kebijakan penanggulangan kemiskinan. Dengan menggunakan garis kemiskinan absolute, angka kemiskinan akan terbanding antara suatu waktu dan waktu yang lain. di dunia internasional, Bank Dunia memiliki garis kemiskinan absolute yang digunakan untuk membandingkan angka kemiskinan antar negara. Garis kemiskinan absolute yang digunakan oleh Bank Dunia ada 2 (dua), yaitu US$ 1 per hari, yang mana jika menggunakan nilai ini maka diperkirakan ada sekitar 1,2 milyar penduduk dunia yang hidup di bawah ukuran tersebut. Yang kedua adalah US$ 2 per hari, yang mana jika menggunakan nilai ini maka diperkirakan ada lebih dari 2 milyar penduduk dunia yang tergolong miskin. Di Indonesia, penghitungan angka kemiskinan dilakukan rutin oleh Badan Pusat Statistik (BPS) setiap tahun. Untuk kepentingan pengukuran kemiskinan, BPS menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Dengan konsep ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari segi ekonomi seseorang/sekelompok orang untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur melalui pendekatan pengeluaran. Garis Kemiskinan (GK) yang dibentuk oleh BPS setiap tahunnya merupakan penjumlahan dari garis kemiskinan makanan dan garis kemiskinan non makanan (akan dijelaskan pada tulisan berikutnya). Penduduk dikatakan miskin apabila memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan (GK). Garis kemiskinan setiap tahunnya berbeda-beda, bergantung pada garis kemiskinan tahun sebelumnya dan Indeks Harga Konsumen (IHK) tahun tersebut.

Persoalan pelik muncul ketika angka dan distribusi penduduk miskin digunakan sebagai ‘petunjuk’ keberadaan si miskin guna pemberian bantuan atau semacamnya. Ketika hal ini terjadi, tidak heran ketika segelintir penduduk justru ‘bangga’ dan ingin menjadi ‘si miskin’ untuk saat itu. Jika pola pikir masyarakat seperti ini dibiarkan, maka wajarlah jika anggaran triliyunan Rupiah menjadi tidak tepat sasaran. Semoga Indonesia dapat lebih baik lagi.

Thursday, February 23, 2012

Bahan Berkualitas, Diproses Dengan Baik, Hasil Memuaskan


Kondisi pencapaian pembangunan manusia Indonesia mutlak mendapat perhatian khusus dari seluruh masyarakat, walaupun sebagian besar bangsa ini menggantungkannya pada mereka yang duduk di ‘kursi empuk’ pengambil kebijakan. Pemerintah berusaha untuk terus selalu membangkitkan kesadaran dalam upaya perluasan pilihan-pilihan manusia, tentu saja pilihan-pilihan yang dimaksud adalah pilihan-pilihan terbaik yang diinginkan manusia dalam penghidupannya. Hal ini sesuai dengan tujuan utama pembangunan manusia, yaitu menciptakan lingkungan yang memungkinkan bagi rakyatnya untuk menikmati umur panjang, sehat, dan menjalankan kehidupan yang produktif (HDR, 2004).

IPM Sebagai Indikator Output
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) merupakan indikator yang dapat memantau pencapaian pembangunan manusia suatu wilayah. IPM yang merupakan indikator output sangat bergantung pada kualitas input dan prosesnya. Oleh karena itu, keberhasilan dan kegagalan pembangunan manusia sebenarnya sangat bergantung pada kualitas input dan mekanisme input tersebut diproses. Strategi yang matang dan mekanisme yang yang terencana akan membawa pencapaian pembangunan manusia ke level yang lebih baik. Untuk mencapai mimpi itu diperlukan berbagai input yang berkualitas dari masing-masing komponen penyusun IPM itu sendiri, dan ditambah dengan pemahaman serta pelaksanaan yang baik dari berbagai indikator proses untuk menghasilkan output pembangunan manusia yang berkualitas. Sebelum melangkah terlalu jauh untuk merumuskan berbagai kebijakan yang diharapkan dapat meningkatkan kualitas pembangunan manusia, maka pemahaman yang menyeluruh disertai dengan evaluasi dan monitoring terhadap berbagai indikator input dan proses mutlak dilakukan. 


Setiap dimensi dalam pembangunan manusia, baik umur panjang dan sehat, pengetahuan, dan kehidupan yang layak perlu dipahami secara menyeluruh, karena masing-masing dimensi tersebut memiliki indikator input dan indikator proses yang perlu dijaga kualitasnya. Sebagai contoh,  untuk dimensi umur panjang dan sehat, terdapat indikator input yang perlu mendapat perhatian (dikutip dari Buku Indeks Pembangunan Manusia 2009-2010, Keterkaitan antara IPM, IPG, dan IDG. Badan Pusat Statistik, 2011) :
1.     Indikator yang berkaitan dengan rumah sakit
2.     Indikator yang berkaitan dengan sarana pengobatan (Puskesmas, Pustu)
3.     Indikator yang berkaitan dengan industri dan distribusi obat
4.     Indikator yang berkaitan dengan tenaga kesehatan
5.     Indikator yang berkaitan dengan penyediaan kalori, protein, dan sumber zat gizi lain per kapita per hari menurut asal bahan makanan
6.     Indikator konsumsi kalori, protein, dan sumber zat gizi lain perkapita menurut asal bahan makanan
7.     Rasio konsumsi kalori dan protein per kapita per hari terhadap standar nasional menurut provinsi
8.     Indikator fisik dan biologis yang relevan terhadap kesehatan, seperti :
-         Angka penggunaan air bersih
-         Angka penggunaan jamban saniteir
-         Jumlah penduduk yang tinggal di pemukiman sehat
-         Tingkat polusi udara
-         Serangga penular penyakit (nyamuk)
-         Mamalia perantara penular penyakit
Dimensi umur panjang dan hidup sehat juga memiliki beberapa indikator proses yang diharapkan dapat di pahami untuk kemudian dikelola dengan baik, antara lain :
1.     Indikator yang berkaitan dengan penilaian rumah tangga terhadap pelayanan kesehatan dan memperoleh obat-obatan
2.     Indikator upaya kesehatan, antara lain dibagi manjadi
a.     Cakupan :
-         Jumlah kunjungan di Puskesmas
-         Jumlah kunjungan ke rumah sakit
-         Jumlah rawat tinggal di rumah sakit
-         Jumlah dan persentase anaj yang mendapat imunisasi
-         Persentase penduduk yang mendapat air bersih
b.     Pemanfaatan Sarana Kesehatan :
-         Rasio umlah kunjungan di puskesmas, di rumah sakit, jumlah rawat tingga di rumah sakit terhadap jumlah tenaga medis dan paramedic yang ada
-         Rasio jumlah penderita rawat tinggal di rumah sakit terhadap jumlah tempat tidur yang tersedia
-         Pemanfaatan sarana tradisional vs modern
Input yang baik adalah modal yang berkualitas bagi pembangunan. Dengan mengetahui dan memahami berbagai indikator input pembangunan di atas, diharapkan akan tercipta pencapaian pembangunan manusia yang memuaskan, tentunya jika berbagai indikator input tersebut di kelola melalui suatu mekanisme yang tercermin pada indikator proses yang terencana. Semoga mimpi tersebut dapat segera terwujud.

Wednesday, February 22, 2012

Jurang Itu Harus Segera Berakhir


Indonesia telah mancapai masa kritis dalam pencapaian berbagai target Tujuan Pembangunan Millenium (MDG’s) 2015. Arah pembangunan yang telah disepakati secara global tersebut meliputi: (1) menghapuskan kemiskinan dan kelaparan berat; (2) mewujudkan pendidikan dasar untuk semua orang; (3) mempromosikan dan mewujudkan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan; (4) menurunkan angka kematian anak; (5) meningkatkan kesehatan maternal; (6) melawan dan menekan penyebaran HIV/AIDS dan penyakit kronis lainnya (malaria dan TBC); (7) menjamin keberlangsungan lingkungan; dan (8) mengembangkan kemitraan dan kerjasama global untuk pembangunan. Delapan tujuan pembangunan tersebut seharusnya mutlak tercapai sejak disepakati secara global pada tahun 2000 silam. Perkembangan pencapaian MDGs di Indonesia telah banyak dikaji dari waktu ke waktu. Secara umum proses pencapaian MDGs di tingkat nasional berjalan baik. Namun, pembangunan yang baik pada suatu negara adalah ketika seluruh masyarakatnya dapat menikmati hasil pembangunan secara adil dan merata.

Ketimpangan Distribusi Penduduk
Apa yang terjadi di Indonesia ? Indonesia memiliki luas wilayah sekitar 7,9 juta km2 dengan 24,1%-nya adalah daratan (1,91 juta km2). Berdasarkan data Sensus Penduduk 2010, jumlah penduduk Indonesia adalah 237.641.326 jiwa dengan kepadatan penduduk 124 jiwa per km2. Belum lagi pertambahan penduduk Indonesia tiap tahunnya yang berkisar antara 3,5 juta hingga 4 juta jiwa. Jika dibandingkan dengan jumlah penduduk Singapura per Juni 2010 yang sekitar 5,08 juta jiwa, artinya tiap tahun penduduk Indonesia selalu bertambah hampir sejumlah penduduk Singapura. Tidak hanya problematika kuantitas dan pertumbuhan penduduk saja yang membuat repot pemerintah dalam menggagas kebijakan publik, namun disparitas penduduk yang tidak merata juga perlu mendapat perhatian khusus. Dengan luas daratan 1.922.570 km2 yang membentang dari Pulau We di ujung barat hingga Kota Merauke di ujung timur negeri ini cukup menghambat mimpi pemerintah untuk mencapai pembangunan yang merata di seluruh wilayah NKRI ini.
Negara ini memiliki lebih dari 17 ribu pulau besar dan kecil, yang 6 ribu di antaranya belum berpenghuni. Sebut saja 5 buah pulau besar yang tersohor, seperti Pulau Sumatera, Pulau Jawa, Pulau Kalimantan, Pulau Sulawesi, dan Pulau Papua, yang sudah cukup menggambarkan betapa luasnya negeri ini. Begitu banyak pilihan wilayah untuk rakyatnya berpenghidupan, namun yang terjadi adalah penduduk justru terkonsentrasi di Pulau Jawa. Bayangkan saja, lebih dari separuh penduduk Indonesia terkonsentrasi di pulau yang memiliki hanya memiliki luas 132.107 km2 atau hanya sekitar 6 persen dari luas daratan Indonesia. Ketimpangan distribusi penduduk ini jelas saja menghambat proses pencapaian pembangunan yang bersifat merata di seluruh wilayah Indonesia. Kepadatan penduduk di suatu wilayah juga secara tidak langsung mengindikasikan tingginya intensitas kegiatan ekonomi yang terjadi di wilayah tersebut, terlepas dari faktor-faktor lain yang berkorelasi dengan terjadi suatu kegiatan ekonomi.



Jurang Pembangunan
Pembangunan merupakan suatu proses untuk membuat perubahan kearah yang lebih baik dalam berbagai dimensi kehidupan. Manusia selain dapat bertindak sebagai subjek pembangunan, melainkan juga sebagai objek pembangunan. Artinya, pembangunan itu merupakan sebuah proses yang dilakukan secara sistematis oleh sekumpulan manusia yang berusaha untuk mencapai perubahan-perubahan kearah yang lebih baik pada seluruh dimensi kehidupannya. Pembangunan manusia menjadi topik yang selalu hangat diperbincangkan, baik dikalangan akademisi, pengambil kebijakan, maupun rakyat yang sudah mulai ‘penasaran’ dengan ukuran-ukuran pembangunan manusia. IPM merupakan ukuran yang dapat digunakan untuk memantau sampai sejauh mana pembangunan manusia yang telah dilakukan. Angka IPM disajikan dalam level nasional, provinsi, hingga level kabupaten/kota. Penyajian IPM menurut wilayah hingga level kabupaten/kota ini bertujuan agar dapat mengetahui peta pembangunan manusia dari perkembangan, posisi, hingga disparitas pembangunan yang terjadi antar daerah. Kebijakan desentralisasi hingga level kabupaten ternyta sedikit banyak memiliki dampak negatif, salah satunya adalah ketimpangan (disparistas) bagi pembangunan manusia. Pada level provinsi, Papua menduduki peringkat terbawah pencapaian IPM selama dua tahun berturut-turut, yaitu pada tahun 2009-2010. Sedangkan provinsi Papua Barat pada tahun 2010 menduduki peringkat kedua terbawah menggantikan provinsi Maluku Utara pada tahun sebelumnya. Sedangkan peringkat 5 terbesar untuk level provinsi di dominasi oleh wilayah-wilayah barat Indonesia. Ketimpangan yang terjadi dalam pembangunan manusia semakin terlihat pada level kabupaten/kota. Peringkat 10 terbawah masih ‘dihuni’ oleh kabupaten-kabupaten di Papua. Ironisnya, peringkat 10 teratas mayoritas justru diduduki oleh kabupaten-kabupaten yang ada di Jawa dan Sumatera. Namun, keadaan ini sudah cukup membaik dari tahun 2009, hal ini dikarenakan rentang IPM tertinggi dan terendah antar provinsi yang semula pada tahun 2009 sebesar 12,83 dapat dikurani menjadi 12,66 pada tahun 2010. Jika dilihat dari segi keragaman pencapaian nilai IPM antarpropinsi juga mengalami perbaikan dari 3,48 pada tahun 2009 menjadi 2,98 pada tahun 2010. Kesenjangan pencapaian pembangunan manusia yang terjadi antara wilayah bagian barat dan timur ini dinilai merupakan akumulasi dari kesenjangan pembangunan infrastruktur pendidikan, fasilitas kesehatan, serta sarana dan prasarana di bagian barat dan timur Indonesia. Pada akhirnya para pengambil kebijakan perlu berpikir keras tentang bagaimana membuat suatu terobosan yang dapat menjembatani ‘jurang’ kesenjangan pembangunan manusia antarwilayah di seluruh Indonesia. 

Catatan : Data yang digunakan bersumber pada data IPM yang dihasilkan BPS.


Sunday, February 19, 2012

Human Development Paradigm

Four essential components of the human development paradigm

First,
Productivity. People must be enabled to increase their productivity and participate fully in the process of income generation and remunerative employment. Economic growth is, therefore, a subset of human development models.

Second,
Equity. People must have access to equal opportunities. All barriers to economic and political opportunities must be eliminated so that people can participate in, and benefit from, these opportunities.

Third,
Sustain
ability. Access to opportunities must be ensured not only for the present generations but for future generation as well. All forms of capital -physical, human, environmental- should be replenished

Fourth,
Empowerment. Development must be by the people, not only for them. People must participate fully in the decisions and processes that shape their lives.
Sumber : Indonesia Human Development Report, 2004.

Sebuah Studi Kenakalan Anak

Proses pembangunan di segala bidang yang semakin pesat dewasa ini kadang berdampak pada terabaikannya aspek-aspek tertentu dalam masyarakat. Kemajuan dan perkembangan zaman dari waktu ke waktu tidak hanya memberikan efek positif, tetapi juga efek negatif, salah satunya adalah meningkatnya kriminalitas (tindak kejahatan).

Tindak kejahatan umumnya dilakukan oleh orang dewasa, namun menurut data yang dikumpulkan oleh Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia, secara rata-rata dari tahun 2004 hingga 2009 sekitar 1,4 persen dari seluruh pelaku tindak pidana adalah anak-anak. Anak-anak adalah generasi penerus cita-cita perjuangan bangsa dan penerus pembangunan. Indonesia merupakan satu dari 191 negara yang telah menandatangani konvensi hak anak (Convention on the Right of Children) pada tahun 1990. Oleh karena itu, Indonesia memiliki kewajiban untuk memenuhi hak-hak bagi semua anak tanpa terkecuali. Salah satu hak anak yang perlu mendapat perhatian dan perlindungan adalah hak anak yang berkonflik dengan hukum (ABH).

Ilustrasi : beritakendari.com (net)
Masalah kenakalan anak perlu upaya penanggulangan, baik berupa pencegahan maupun rehabilitasi. Dengan mengetahui karakteristik anak pada tiap level kenakalan diharapkan dapat mempermudah proses rehabilitasi sosial anak tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji anak nakal dalam kaitannya dengan gambaran jenis kenakalan yang dilakukan, kondisi sosial dan demografi anak nakal, apa saja karakteristik sosial dan demografi yang dapat membedakan antar kelompok anak berdasarkan level kenakalannya, dan karakteristik sosial dan demografi dari anak/remaja nakal berdasarkan level kenakalan yang dilakukan. Metode analisis inferensia yang digunakan adalah analisis diskriminan. Variabel yang diduga dapat menjadi pembeda adalah umur, jumlah anggota rumah tangga, jumlah bersaudara kandung, intelegentia (IQ), keharmonisan keluarga, kecerdasan emosional, perilaku sebelum masuk panti, pendidikan anak, pendidikan pengasuh, dan waktu bermain. Hasil penelitian menunjukan bahwa variabel yang signifikan menjadi pembeda antar kelompok kenakalan adalah intelegentia (IQ), keharmonisan keluarga, kecerdasan emosional, perilaku sebelum masuk panti. Tingkat akurasi pengelompokan oleh fungsi diskriminan melalui penghitungan hit ratio, yaitu sebesar 95,8 persen.


Penulis : Resa Surya Utama
Catatan : 
Tulisan di atas merupakan abstraksi sebuah penelitian mengenai kenakalan anak yang dilakukan pada tahun 2011. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi penulis.
Terimakasih, Semoga Bermanfaat

Mereka Membangun Untuk Siapa


Kualitas keberhasilan pembangunan manusia di suatu wilayah tercermin pada tinggi atau rendahnya skor Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di wialyah tersebut. Di dunia internasional, IPM Indonesia menduduki posisi ke-124 dari 187 negara di dunia dengan skor 0,617 pada tahun 2011. Tersedia dua jenis cara pandang terhadap angka ini, yaitu “IPM Indonesia sudah mencapai skor  0,617” atau “IPM Indonesia masih mencapai skor 0,617”. Saya yakin mereka yang duduk di ‘kursi empuk’ akan bergembira dengan hasil ini karena jika dilihat dari nilai skornya, Indonesia memang mengalami peningkatan. Namun, bagi mereka yang peduli tentang bangsa ini akan merasa miris melihat kenyataan bahwa Indonesia dipecundangi oleh negara-negara lain di dunia yang berhasil meningkatkan kualitas pembangunan bangsanya. Kita boleh berbangga karena dalam 10 tahun terakhir skor IPM Indonesia berhasil merangkak naik. Namun, rasa bangga itu harus sedikit terkubur ketika melihat kenyataan bahwa beberapa negara anggota ASEAN seperti Singapura (0,866), Brunei Darussalam (0,838), Malaysia (0,761), Thailand (0,682), dan Filiphina (0,644) yang berhasil mengungguli pencapaian pembangunan manusia Indonesia.


Perebutan Posisi

Skor IPM adalah gengsi bangsa ini di hadapan bangsa-bangsa lain di dunia. Berbeda kepentingan, berbeda pula pandangan. Tampaknya hal itu yang sering terjadi tatkala skor IPM negara-negara di dunia di rilis oleh United Nations Development Programme (UNDP). 
Urgensi yang sebenarnya bukan terletak pada persaingan posisi peringkat antar negara, namun lebih kearah sejauh mana keberhasilan pembangunan di negara sendiri
Tidak bisa dipungkiri, persaingan merupakan hal yang lumrah terjadi, namun akan tidak ada artinya ketika peringkat IPM suatu negara membaik tanpa diiringi keberhasilan pembangunan manusia secara nyata.


Kondisi Negeri ini

Sederhana dan sangat mendasar tujuan dari pembangunan manusia secara umum, yaitu perluasan kesempatan bagi manusia untuk dapat menikmati umur panjang, sehat, dan menjalankan kehidupan yang layak. Sederhana namun sulit terwujud. Oleh karena permasalahan pembangunan bersifat multidimensional, maka keberhasilan suatu pembangunan manusia tidak dapat diukur secara parsial, namun harus dilihat secara komprehensif. Tingkat kesehatan, pendidikan, dan pendapatan per kapita, merupakan 3 komponen penyusun IPM yang dinilai dapat menggambarkan kondisi pencapaian pembangunan manusia di suatu wilayah. Variabel-variabel yang digunakan oleh UNDP untuk mengukur 3 komponen itu adalah rata-rata lama sekolah dan harapan lama sekolah, angka harapan hidup, dan PDB per kapita dalam Dollar PPP. Melihat hasil pencapaian pembangunan manusia Indonesia yang baru mencapai kategori medium (medium human development), pemerintah  dinilai perlu untuk memikirkan strategi pembangunan di masa mendatang.

Beragam masalah yang dihadapi dalam proses pembangunan. Tidak hanya direpotkan oleh masalah sumber daya pembangunan, namun salah satu masalah yang cukup membuat pusing para pengambil kebijakan adalah disparitas pembangunan. Kali ini yang diangkat, bukan disparitas pembangunan antar provinsi di Indonesia, melainkan disparitas pembangunan yang terjadi antara wilayah perkotaan dan perdesaan. Wilayah perkotaan, sangat sensitiv dengan hasil-hasil pembangunan. Teknologi informasi, fasilitas yang memadai di bidang kesehatan maupun pendidikan umumnya hanya dirasakan di wilayah perkotaan. Bukan tidak mungkin kebobrokan pembangunan di suatu provinsi ternyata banyak ‘disumbang’ dari wilayah perdesaan.
Sangat kompleks memang masalah pembangunan. Ketika para pemangku kekuasaan sibuk berpikir tentang bagaimana strategi yang tepat untuk mempercepat pembangunan, segelintir orang justru berpikir atas jawaban suatu pertanyaan “Mereka membangun untuk siapa ?” .