Anak adalah karunia dan
amanah yang dititipkan Tuhan Yang Maha Esa kepada setiap orangtua di dunia ini.
Oleh karenanya, kebahagiaan dan kelangsungan hidup yang layak dari setiap anak
mutlak menjadi tanggungjawab orangtuanya. Dalam diri setiap anak juga melekat
harkat dan martabat, dan hak-hak dasar sebagai manusia yang harus dijunjung
tinggi demi keberlangsungan hidupnya sebagai generasi penerus bangsa. Namun,
konsep yang sedemikian mulia itu kini tinggal teori saja. Di hampir seluruh
penjuru dunia, beberapa anak terpaksa memikul bongkahan batu atau kerja berat
lainnya saat sebagian diantara mereka menikmati indah dan bahagianya masa
kecil. Kondisi demikian merupakan cambuk bagi masyarakat dunia, tak terkecuali
negara kita tercinta, Indonesia. Negara yang sudah merdeka lebih dari 66 tahun
ini, ternyata belum dapat sepenuhnya ‘memerdekakan’ hak-hak anak yang tidak
lain adalah generasi muda di negeri ini. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002
secara tegas mengatakan bahwa pertanggungjawaban orang tua, keluarga, dan
masyarakat, pemerintah dan negara merupakan rangkaian kegiatan yang
dilaksanakan secara terus menerus demi terlindunginya hak-hak anak.
Bagaiman
Kondisi Mereka Sekarang ?
Perlindungan terhadap
anak pada hakikatnya adalah tanggung jawab Negara,masyarakat, dan khususnya
keluarga. Setiap anak harus terjamin dari berbagai kondisi yang dapat
membahayakan proses perkembangandan pertumbuhannya. Namun, yang terjadi kini
adalah maraknya kasus penindasan anak secara politis, ekonomi, dan budaya.
Sebagai contoh saat rangkaian perhelatan pemilihan ‘wakil rakyat’ digelar,
tidak jarang kita melihat anak yang masih ‘bau kencur’ mengenakan atribut-atribut
politis, mungkin saja sengaja diikutsertakan oleh orang tua mereka untuk turut
serta memeriahkan acara kampanye salah satu calon ‘wakil rakyat’. Eksploitasi
anak dari sisi ekonomi juga perlu mendapat perhatian. Berdasarkan data hasi
Survei Pekerja Anak (SPA) yang diselenggarakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS)
pada tahun 2009 mencatat ada 4,1juta anak usia 5 -17 tahun yang bekerja (working children). Ironisnya, dari
jumlah tersebut, sebesar 43,3 persennya atau 1,7 juta orang termasuk pekerja
anak. Pada dasarnya, pekerja anak merupakan bagian dari anak yang bekerja,
namun dengan beberapa kondisi khusus. Seorang anak dikatakan pekerja anak jika ‘berhasil’
memenuhi salah satu atau lebih beberapa kondisi yang tidak diharapkan terjai
pada anak yang bekerja.
Pertama, seorang anak
yang bekerja (working children)
digolongkan sebagai pekerja anak jika anak tersebut berusia kurang dari 13 tahun.
Pada tahun 2009, tercatat sebanyak 647 ribu orang dari seluruh anak yang
bekerja, ternyata berusia masih kurang dari 13 tahun, atau kira-kira seusia
anak yang baru tamat Sekolah Dasar (SD).
Kondisi kedua, seorang
anak yang bekerja (working children)
digolongkan sebagai pekerja anak jika berusia 13-14 tahun, namun bekerja dengan
jam kerja yang lebih dari 3 jam/hari. Salah satu lembaga dunia yang berkaitan
dengan ketenagakerjaan, Internatonal
Labour Organization (ILO), memperbolehkan anak usia 13-14 tahun untuk
bekerja, namun dengan jumlah jam kerja kurang dari 3 jam/hari. Sebanyak 321
ribu dari seluruh anak yang bekerja, ternyata berusia 13-14 tahun dan mereka
bekerja lebih dari 3 jam/hari.
Kondisi ketiga, seorang
anak yang bekerja (working children)
digolongkan sebagai pekerja anak jika anak tersebut berusia 15-17 tahun, namun
bekerja dengan jam kerja lebih dari 90 jam/minggu. Kondisi terkahir ini yang
paling banyak ditemui di Indonesia, terbukti dari hasil SPA 2009 tercatat sebanyak
760 ribu anak usia 15-17 tahun yang bekerja melebihi 90 jam/minggu.
Sebagai salah satu Negara
yang telah meratifikasi konvensi ILO No. 138/1979 tentang batas usia minimum
usia wajib belajar dan konvensi ILO No. 182/2000 tentang pelarangan dan
penghapusan segala bentuk-bentuk terburuk pekerja anak, Indonesia memiliki
tanggung jawab untuk menyelesaikan dengan segera berbagai persoalan yang
terkait dengan pekerja anak.
Indonesia
Telah Berusaha
Sadar dengan berbagai
kondisi buruk yang menimpa anak-anak Indonesia, khususnya terkait pekerja anak,
pemerintah sebenarnya telah berupaya maksimal memberikan yang terbaik bagi generasi
mudanya. Sebut saja, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang dibentuk
oleh Presiden pada tahun 2002 dan Komisi Nasional Perlindungan Anak (KNPA) yang
telah dibentuk sejak tahun 1997 oleh Menteri Sosial Republik Indonesia saat
itu. Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia – pun tidak
ingin ketinggalan untuk mengurangi jumlah pekerja anak setiap tahunnya.
Penarikan pekerja anak ini dalam rangka program kerja Pengurangan Pekerja Anak
dalam rangka mendukung Program Keluarga Harapan (PKH) yang merupakan program
lintas Kementerian dan Lembaga. Pada tahun 2011 lalu, Kemenakertrans berhasil
menarik 3.360 pekerja anak, atau 100 persen dari target yang dirancang oleh
Kemenakertrans tahun tersebut. Dari jumlah itu, sudah 90,2 persen atau 3.032
anak yang berhasil terfasilitasi untuk mendapatkan pendidikan yang sesuai. Berbeda
dengan tahun lalu, tahun 2012 ini tidak tanggung-tanggung, pemerintah melalui
Kemenakertrans menargetkan sebanyak 10.750 anak yang harus ditarik dari pekerja
anak dan harus terfasilitasi untuk mendapatkan pendidikan yang sesuai. Jumlah
ini meningkat lebih dari 300 persen dari target tahun 2011 lalu.
Melihat realita
permasalahan pekerja anak dan usaha yang dilakukan pemerintah, mutlak adanya
bagi seluruh masyarakat, khususnya keluarga, untuk bertanggung jawab dalam
menyelesaikan persoalan ini. Sedikit banyak, semua itu juga bergantung pada
pola pikir sebagian masyarakat yang menganggap anak merupakan sumber ekonomi.
Yaa, memang benar adanya, namun konsep itu menjadi lebih ‘manusiawi’ ketika
orang tua berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidup anaknya (pendidikan, gizi
yang cukup, kesehatan yang terjamin, dan lingkungan yang kondusif) untuk
berkembang dan menjadi sumber ekonomi keluarga pada saat yang tepat nantinya.