Kualitas keberhasilan pembangunan manusia di suatu wilayah tercermin pada tinggi atau rendahnya skor Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di wialyah tersebut. Di dunia internasional, IPM Indonesia menduduki posisi ke-124 dari 187 negara di dunia dengan skor 0,617 pada tahun 2011. Tersedia dua jenis cara pandang terhadap angka ini, yaitu “IPM Indonesia sudah mencapai skor 0,617” atau “IPM Indonesia masih mencapai skor 0,617”. Saya yakin mereka yang duduk di ‘kursi empuk’ akan bergembira dengan hasil ini karena jika dilihat dari nilai skornya, Indonesia memang mengalami peningkatan. Namun, bagi mereka yang peduli tentang bangsa ini akan merasa miris melihat kenyataan bahwa Indonesia dipecundangi oleh negara-negara lain di dunia yang berhasil meningkatkan kualitas pembangunan bangsanya. Kita boleh berbangga karena dalam 10 tahun terakhir skor IPM Indonesia berhasil merangkak naik. Namun, rasa bangga itu harus sedikit terkubur ketika melihat kenyataan bahwa beberapa negara anggota ASEAN seperti Singapura (0,866), Brunei Darussalam (0,838), Malaysia (0,761), Thailand (0,682), dan Filiphina (0,644) yang berhasil mengungguli pencapaian pembangunan manusia Indonesia.
Perebutan
Posisi
Skor IPM adalah gengsi bangsa ini di hadapan
bangsa-bangsa lain di dunia. Berbeda kepentingan, berbeda pula pandangan.
Tampaknya hal itu yang sering terjadi tatkala skor IPM negara-negara di dunia
di rilis oleh United Nations Development Programme (UNDP).
Urgensi yang sebenarnya bukan terletak pada persaingan posisi peringkat antar negara, namun lebih kearah sejauh mana keberhasilan pembangunan di negara sendiri.
Tidak bisa dipungkiri,
persaingan merupakan hal yang lumrah terjadi, namun akan tidak ada artinya
ketika peringkat IPM suatu negara membaik tanpa diiringi keberhasilan
pembangunan manusia secara nyata.
Kondisi
Negeri ini
Sederhana dan sangat mendasar tujuan dari
pembangunan manusia secara umum, yaitu perluasan kesempatan bagi manusia untuk
dapat menikmati umur panjang, sehat, dan menjalankan kehidupan yang layak. Sederhana
namun sulit terwujud. Oleh karena permasalahan pembangunan bersifat
multidimensional, maka keberhasilan suatu pembangunan manusia tidak dapat
diukur secara parsial, namun harus dilihat secara komprehensif. Tingkat
kesehatan, pendidikan, dan pendapatan per kapita, merupakan 3 komponen penyusun
IPM yang dinilai dapat menggambarkan kondisi pencapaian pembangunan manusia di
suatu wilayah. Variabel-variabel yang digunakan oleh UNDP untuk mengukur 3
komponen itu adalah rata-rata lama sekolah dan harapan lama sekolah, angka
harapan hidup, dan PDB per kapita dalam Dollar PPP. Melihat hasil pencapaian
pembangunan manusia Indonesia yang baru mencapai kategori medium (medium human development), pemerintah dinilai perlu untuk memikirkan strategi
pembangunan di masa mendatang.
Beragam masalah yang dihadapi dalam proses
pembangunan. Tidak hanya direpotkan oleh masalah sumber daya pembangunan, namun
salah satu masalah yang cukup membuat pusing para pengambil kebijakan adalah
disparitas pembangunan. Kali ini yang diangkat, bukan disparitas pembangunan
antar provinsi di Indonesia, melainkan disparitas pembangunan yang terjadi
antara wilayah perkotaan dan perdesaan. Wilayah perkotaan, sangat sensitiv
dengan hasil-hasil pembangunan. Teknologi informasi, fasilitas yang memadai di
bidang kesehatan maupun pendidikan umumnya hanya dirasakan di wilayah
perkotaan. Bukan tidak mungkin kebobrokan pembangunan di suatu provinsi
ternyata banyak ‘disumbang’ dari wilayah perdesaan.
Sangat kompleks memang masalah pembangunan. Ketika
para pemangku kekuasaan sibuk berpikir tentang bagaimana strategi yang tepat
untuk mempercepat pembangunan, segelintir orang justru berpikir atas jawaban
suatu pertanyaan “Mereka membangun untuk siapa ?” .
0 komentar:
Post a Comment