Yang
miskin tetap miskin, yang kaya semakin kaya, ungkapan
demikian sering terdengar di telinga rakyat yang semakin gerah dengan carut
marut negeri ini, terutama saat berbicara tentang kemiskinan. Baiklah, kali ini
saya tidak akan membahas tentang bagaimana ‘beliau-beliau’ (baca : pengambil
kebijakan) berpikir keras dan berusaha mencarikan solusi terbaik untuk
mengeluarkan sebagian rakyat Indonesia yang masih terjerembab di jurang
kemiskinan. Pada tulisan ini saya lebih tertarik untuk sedikit mengenal kemiskinan,
terkait definisi kemiskinan dan sekilas mengenal metode penghitungan
kemiskinan.
Definisi
Kemiskinan
Kemiskinan memaksa seseorang
atau sekelompok orang untuk tidak dapat memenuhi
hak-hak dasarnya sebagai manusia, seperti kebutuhan akan makanan yang layak dan
begizi, memakai pakaian yang layak, kesehatan yang terjaga, mendapatkan
pendidikan yang diinginkan, memperoleh pekerjaan yang memadai, tinggal dalam
rumah yang layak huni, mendapatkan air bersih, hingga memanfaatkan sumberdaya
alam dan lingkungan hidup. Kesempatan untuk memperoleh hal-hal tersebut menjadi
sirna ketika seseorang atau sekelompok orang terjerumus dalam jurang
kemiskinan. Hal ini sesuai dengan konsep yang dilansir oleh Bappenas, bahwa
kemiskinan adalah kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang tidak mampu
memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang
bermartabat (Bappenas, 2004).
Jenis-Jenis
Kemiskinan
Pada dasarnya
kemiskinan dibagi menjadi beberapa jenis, di antaranya adalah kemiskinan
relatif, kemiskinan absolut, kemiskinan structural, dan kemiskinan kultural. Selanjutnya,
mari kita ‘kupas’ satu per satu mulai dari kemiskinan relatif. Kemiskinan relatif
merupakan kondisi miskin yang disebabkan oleh pengaruh kebijakan pembangunan
yang belum mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat, sehingga menyebabkan
terjadinya ketimpangan distribusi pendapatan, yang selanjutnya dapat dipastikan ada sekelompok orang
di sekitar kita yang tergolong miskin. Hal ini terjadi karena konsep kemiskinan
relatif sangat bergantung pada distribusi pendapatan masyarakat. Sebagai ilustrasi,
sebuah negara akan menyusun standar minimum
kondisi hidup di negara tersebut pada waktu tertentu. Tentu saja,
standar itu difokuskan pada golongan penduduk
“termiskin”, misalnya sekitar 40 persen dari
total penduduk yang telah diurutkan menurut pendapatan/pengeluarannya. Kelompok
40 persen ini merupakan kelompok yang relatif miskin, yang sudah tentu selalu
ada setiap waktu, berbeda individu/rumahtangga/kelompok masyarakat miskinnya.
Berbeda dengan
kemiskinan relatif, kemiskinan absolute yang akan dibahas selanjutnya ini tidak
bergantung pada distribusi pendapatan, melainkan secara ketat bergantung apda
konsep dasar kemiskinan itu sendiri, yaitu ketidakmampuan untuk mencukupi
kebutuhan pokok minimum seperti pangan, sandang, kesehatan, perumahan dan
pendidikan yang diperlukan untuk bisa hidup dan bekerja. Garis atau batas yang
digunakan untuk menentukan seseorang/sekelompok orang masuk ke dalam kemiskinan
absolute selalu tetap/tidak berubah-ubah seperti yang digunakan untuk
menentukan batas kemiskinan relatif. Tujuan dari ditentukannya garis kemiskinan
absolute adalah agar kemiskinan dapat dibandingkan secara umum antar waktu dan
antar wilayah. Garis kemiskinan absolute mutlak diperlukan ketika seseorang
ingin mencoba menilai efek dari suatu kebijakan penanggulangan kemiskinan. Dengan
menggunakan garis kemiskinan absolute, angka kemiskinan akan terbanding antara
suatu waktu dan waktu yang lain. di dunia internasional, Bank Dunia memiliki
garis kemiskinan absolute yang digunakan untuk membandingkan angka kemiskinan
antar negara. Garis kemiskinan absolute yang digunakan oleh Bank Dunia ada 2
(dua), yaitu US$ 1 per hari, yang mana jika menggunakan nilai ini maka
diperkirakan ada sekitar 1,2 milyar penduduk dunia yang hidup di bawah ukuran
tersebut. Yang kedua adalah US$ 2 per hari, yang mana jika menggunakan nilai ini
maka diperkirakan ada lebih dari 2 milyar penduduk dunia yang tergolong miskin.
Di Indonesia, penghitungan angka kemiskinan dilakukan rutin oleh Badan Pusat
Statistik (BPS) setiap tahun. Untuk kepentingan pengukuran kemiskinan, BPS
menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Dengan konsep ini, kemiskinan dipandang
sebagai ketidakmampuan dari segi ekonomi seseorang/sekelompok orang untuk
memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur melalui pendekatan
pengeluaran. Garis Kemiskinan (GK) yang dibentuk oleh BPS setiap tahunnya
merupakan penjumlahan dari garis kemiskinan makanan dan garis kemiskinan non
makanan (akan dijelaskan pada tulisan berikutnya). Penduduk dikatakan miskin
apabila memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis
Kemiskinan (GK). Garis kemiskinan setiap tahunnya berbeda-beda, bergantung pada
garis kemiskinan tahun sebelumnya dan Indeks Harga Konsumen (IHK) tahun
tersebut.
Persoalan pelik muncul
ketika angka dan distribusi penduduk miskin digunakan sebagai ‘petunjuk’
keberadaan si miskin guna pemberian bantuan atau semacamnya. Ketika hal ini
terjadi, tidak heran ketika segelintir penduduk justru ‘bangga’ dan ingin
menjadi ‘si miskin’ untuk saat itu. Jika pola pikir masyarakat seperti ini
dibiarkan, maka wajarlah jika anggaran triliyunan Rupiah menjadi tidak tepat
sasaran. Semoga Indonesia dapat lebih baik lagi.
memang berbicara kemiskinan itu luas,,,sipppp sa,,,,tulisan yang bagus,,,,lanjutkan !!!
ReplyDeletebetul Pak Radit. bicara kemiskinan, seperti "lingkaran setan" . .Siip. makasih masbro
Delete