Masih
teringat benar dipikiran saya ketika pertama kali menggunakan jasa bus
Transjakarta yang lebih akrab kita sebut dengan busway (walaupun kurang sesuai dengan makna yang sebenarnya),
sekitar 5 tahun yang lalu, bangga dan katrok
yang bercampur menjadi satu. Ya maklumlah, saya berasal dari sebuah kota di
Kepulauan Riau yang kurang mengandalkan moda transportasi daratnya. Pertama kali
menggunakan busway, saya langsung
berpikir ekonomis “Waah, bisa keliling Jakarta nih hanya dengan Rp 3500,- “,
pikiran itu terlintas ketika saya mengetahui bahwa pengguna busway bisa turun di halte mana saja
(asalkan tetap dalam koridor yang sama), kemudian naik kembali (gratis) asalkan
belum keluar dari halte atau tidak berhenti di perhentian terakhir suatu
koridor. Pengguna juga dimanjakan oleh bus yang dilengkapi dengan pendingin
udara (AC) tersebut, karena busway
memiliki jalur khusus yang secara teori akan membuat perjalanan busway bebas hambatan, kecuali pada traffic light.
Alternatif Angkutan Darat
Ditengah-tengah
keadaan kota Jakarta yang semakin padat dengan kendaraan, masyarakat rindu akan
moda transportasi yang cepat dan bebas macet, nyaman, dan tentunya terjangkau bagi
seluruh lapisan masyarakat. Pada tahun 2004, bak sebagai pahlawan, Transjakarta
Busway mulai beroperasi untuk menjawab harapan masyarakat kala itu. Agar terjangkau
oleh masyarakat, harga tiket busway
pun disubsidi oleh pemerintah DKI Jakarta. Selama dua tahun sejak diresmikan, busway hanya beroperasi melayani rute
Blok M – Kota (Koridor I), hingga pada tahun 2006 diresmikan koridor lainnya
yaitu Koridor II yang melayani rute Pulo Gadung – Harmoni dan Koridor III yang
menjelajah dari Kalideres hingga Pasar Baru. Seiring berjalannya waktu dan
melihat kebutuhan masyarakat, maka hingga tahun 2012, telah terdapat 11 Koridor
yang diharapkan dapat menjangkau seluruh wilayah Jakarta. Kedepannya, pengelola
Transjakarta busway akan menambah
beberapa Koridor lagi dengan harapannya adalah masyarakat akan beralih dari
transportasi pribadi ke transportasi masal untuk mengurangi kemacetan di Jakarta.
Seperti
yang telah dijelaskan sebelumnya, secara teori busway dirancang untuk melalui jalur khusus yang diharapkan bisa
melepaskannya dari ‘ancaman’ kemacetan. Di dalam busway juga terdapat satu atau lebih petugas yang dimaksudkan untuk
mengatur arus penumpang masuk dan keluar bus, tempat bertanya, dan sekaligus
mengawasi penumpang agar keamaan di dalam bus tetap terjaga. Penempatan halte pun
telah dirancang sedemikian rupa dekat dengan tempat-tempat yang sering
dikunjungi atau minimal ‘familiar’ di telinga masyarakat. Lengkap sudah rasanya
kemudahan yang ditawarkan oleh Transjakarta busway
ini. Oleh karena itu tidak terlalu tinggi rasanya asa, ketika kita berharap busway menjadi salah satu alternatif
transportasi masal di kota nan padat ini.
Tapi Kini Tak Nyaman Lagi . . .
Berbagai
kelebihan dan kemudahan tentang busway
yang telah disebutkan di atas rasanya sirna beberapa tahun ini. Manisnya
tawaran akan suguhan transportasi yang nyaman dan bebas macet ini, seakan
terbang bersama kepulan asap bajaj. Sejak
awal diresmikannya, Badan Layanan Umum (BLU) Transjakarta memang telah berupaya
untuk berbenah menyempurnakan berbagai ‘kecacatan’ dalam operasional busway. Namun, berbagai fakta buruk
terpaksa mengubur niat baik pengelola busway
di mata masyarakat.
Kendati
menjadi salah satu andalan Pemda DKI Jakarta, namun semakin sering saja kita
mengalami atau mendengar busway yang
mogok karena mesin panas, ban kempis, gangguan radiator, dan berbagai gangguan
tekhnis lainnya. Berdasarkan catatan BLU Transjakarta, selama bulan Januari
2012 saja terdapat 74 bus yang mengalami mogok dengan penyebab yang bervariasi.
Celakanya, terkadang gangguan seperti itu justru terjadi saat mobilitas yang
tinggi sebagian besar masyarakat Jakarta, seperti saat jam berangkat kerja
maupun pulang kerja. Bahkan, bukan tidak pernah busway terbakar saat menjalankan tugasnya. Kondisi bus yang tidak terawat
juga menjadi sorotan masyarakat pengguna busway.
Bus yang dapat menampung 80-100 orang dalam sekali jalan ini, ternyata sering
membuat penumpang seperti masuk kedalam ‘oven berjalan’, karena terkadang
rusaknya sistem pendingin di dalam bus. Belum lagi, handle yang dirancang untuk penumpang yang berdiri, sudah banyak
tidak layak. Sehingga terkadang cukup membuat kerepotan pengguna yang ingin
berpegangan untuk menjaga keseimbangan, maklum, butuh sedikit keseimbangan
ekstra bagi penumpang yang berdiri saat bus yang konon boleh melaju hingga kecepatan
60 km/jam ini ngerem untuk berhenti.
Tidak
hanya gangguan tekhnis yang menjadi persoalan pelik busway, berbagai kejadian kriminal turut serta mewarnai carut marut
perjalanan busway. Pencopetan hingga
pelecehan seksual terjadi di dalam alat transportasi andalan Pemda DKI Jakarta
ini. Beberapa kali kita dengar kasus pelecehan seksual terjadi di dalam busway maupun saat berdesakan di halte
untuk masuk ke dalam bus. Bagi pengguna jalan lainnya, busway merupakan momok
tersendiri. Wajar saja, karena sudah panas rasanya telinga kita mendengar
berbagai kecelakaan melibatkan busway
sampai merenggut nyawa pengguna jalan lainnya, hingga nyawa seorang perwira menengah
polisi pun harus berakhir karena terlindas busway.
Berbenah Diri
Memang
sangat beragam persoalan yang dihadapi dalam operasional bus Transjakarta. Namun,
kita juga perlu memberi jempol kepada BLU Transjakarta yang tidak
henti-hentinya mencarikan solusi bagi persoalan-persoalan tersebut. Mulai dari
kasus pelecehan yang marak terjadi di dalam bus maupun di halte, pengelola
telah menerapkan strategi memisahkan penumpang laki-laki dan perempuan di dalam
bus. Melihat penerapannya, meskipun terkesan ‘dipaksakan’ karena busway tidak memiliki sekat di dalam bus
nya, namun langkah ini patut kita hargai sebagai alternatif pencegahan untuk
meminimalisisr kasus pelecehan seksual di dalam bus. Hal serupa juga diterapkan
pada sistem antrian di halte yang telah memisahkan antara penumpang laki-laki
dan perempuan, meskipun terkadang saat jam-jam sibuk, kebijakan itu menjadi
tidak efektif.
Dalam
meminimalisir kecelakaan yang melibatkan busway,
pengelola pun telah menyiapkan strategi-strategi khusus, dimulai dari
sterilisasi jalur Transjakarta. Portal-portal telah disiapkan di beberapa titik
jalur busway. Keberadaan portal
tersebut dimaksudkan agar kendaraan lain tidak dapat menggunakan jalur
Transjakarta. Selain itu, di beberapa titik persimpangan yang dianggap rawan
telah disiapkan beberapa petugas yang diharapkan dapat membantu dalam hal
keamanan dan kelancaran arus lalulintas saat busway melewati wilayah tersebut.
Pemeliharaan
dan pemeriksaan rutin terhadap seluruh armada dan fasilitasnya pasti telah
dilakukan oleh pengelola Transjakarta busway,
namun kedepannya diharapakan dapat lebih ditingkatkan lagi. Kelancaran dan
kenyamanan busway juga bergantung kepada pengguna busway itu sendiri dan
pengguna jalan lainnya. Tertib saat antri untuk masuk ke dalam bus, serta patuh
terhadap peraturan di dalam bus menjadi awal dari kenyaman yang akan dirasakan
oleh seluruh pengguna busway . Bagi
pengguna jalan lainnya, juga diharapakan turut serta menciptakan keamanan dan
ketertiban. Tidak masuk ke dalam jalur busway
merupakan langkah pribadi untuk mencegah hal-hal yang dapat merugikan diri sendiri
dan orang lain. Tidak ketinggalan bagi para pejalan kaki, sering sekali pejalan
kaki yang ingin menyeberang jalan malas menggunakan jembatan penyeberangan atau
menyebrang di tempat yang telah ditentukan, sehingga melintas di jalur busway. Hal ini justru akan merugikan
diri sendiri.
Peran Transjakarta busway sangat besar dalam mobilitas masyarakat Jakarta. Untuk itu
diharapkan kesadaran dari berbagai pihak untuk mewujudkan Transjakarta busway sebagai alternatif alat
transportasi favorit masyarakat untuk mengurangi kemacetan di Jakarta ini.